Strategi untuk Mencapai Climate Mitigation dan Climate Adaptation Secara Bersamaan
Aksi perubahan iklim sering kali terbagi dalam dua strategi yaitu climate mitigation untuk menurunkan atau menghilangkan emisi gas rumah kaca dari atmosfer, dan climate adaptation untuk menyesuaikan sistem dan masyarakat agar tahan terhadap dampak perubahan iklim.
Pemisahan ini sudah menimbulkan kesalahpahaman bahwa mengatasi perubahan iklim berarti melakukan mitigation atau adaptation. Kesenjangan ini kontraproduktif dan berbahaya, terutama bagi desa-desa pesisir, petani, negara kepulauan kecil, dan komunitas lain yang berada di garis depan dampak perubahan iklim.
Kenyataannya adalah adaptation dan mitigation adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Faktanya, metode dan teknologi yang mampu mengekang perubahan iklim dan mengatasi dampaknya sudah ada.
Bagaimana Strategi untuk Mencapai Climate Mitigation dan Climate Adaptation?
Melindungi Lahan Basah Pesisir
Rawa asin, hutan bakau, dan padang lamun merupakan ekosistem pesisir unik yang berfungsi sebagai sistem penyaringan air alami dan habitat laut. Hutan melindungi pantai dari kenaikan permukaan laut dengan menahan gelombang badai dan air banjir, serta menyimpan berton-ton karbon di akar dan tanah.
Hutan bakau saat ini menyimpan emisi global yang setara dengan lebih dari dua tahun emisi global, yang akan dilepaskan ke atmosfer dan memperburuk dampak perubahan iklim jika hutan tersebut dirusak.
Meningkatkan perlindungan lahan basah pesisir dan memulihkan sekitar 40% cakupan ekosistem global pada tahun 2050 dapat mengurangi satu gigaton CO 2 per tahun dalam tiga tahun emisi. Upaya untuk mempertahankan lahan basah pesisir harus melibatkan masyarakat lokal yang bergantung pada ekosistem ini sebagai tempat tinggal dan penghidupan mereka.
Negara-negara seperti Papua Nugini memiliki pengalaman sukses dalam bidang konservasi dan pendidikan berbasis masyarakat untuk mengelola lahan basah dan mendukung pembangunan masyarakat sekitar.
Mempromosikan Manfaat Agroforestri Berkelanjutan
Mengingat perubahan penggunaan lahan dari sektor kehutanan dan pertanian menyumbang hampir 25% emisi gas rumah kaca antropogenik, jelas bahwa skema pengelolaan lahan saat ini perlu diubah.
Praktik wanatani mengintegrasikan beragam pohon atau semak dengan tanaman dan ternak. Secara khusus, padang rumput yang ditumbuhi pepohonan dapat menyerap karbon lima hingga 10 kali lebih banyakdibandingkan area tanpa pohon dengan ukuran yang sama.
Petani juga dapat menjadi lebih produktif dengan bercocok tanam dan beternak secara bersamaan dengan menggunakan lahan yang jauh lebih sedikit.
Diversifikasi tanaman dan termasuk ternak di lahan ini dapat memberikan sumber pendapatan tambahan bagi petani dan mengurangi resiko terhadap mata pencaharian yang disebabkan oleh perubahan iklim dan cuaca yang tidak dapat diprediksi.
Desentralisasi Distribusi Energi
Variabilitas iklim akan berdampak negatif pada infrastruktur transmisi dan distribusi listrik suatu negara. Pada saat yang sama, pembangunan dan pertumbuhan penduduk meningkatkan permintaan dan penggunaan energi.
Sistem energi terpusat dengan pembangkit listrik besar dan infrastruktur yang terhubung dalam jarak jauh lebih rentan terhadap perubahan iklim karena gangguan pada satu titik dalam sistem dapat berdampak pada keseluruhan jaringan.
Sistem yang terdesentralisasi yang seringkali didukung oleh energi terbarukan, dengan jalur transmisi yang lebih pendek dan wilayah distribusi yang lebih kecil lebih tahan terhadap perubahan iklim.
Teknologi rendah karbon seperti panel surya dan baterai juga dapat menyediakan energi bersih dan andal untuk layanan penting, seperti rumah sakit di daerah terpencil yang belum terhubung ke jaringan listrik atau sering mengalami pemadaman listrik.
Segera bergabung dengan Net Zero Hub dalam langkah mengurangi emisi karbon dengan program science based emission, Seperti Emission Reduction, Climate Mitigation dan Climate Adaptation.